Sabtu, 25 Desember 2010

Efisiensi Koperasi

Efisiensi Koperasi
Tidak dapat di pungkiri bahwa koperasi adalah badan usaha yang kelahirannya di landasi oleh fikiran sebagai usaha kumpulan orang-orang bukan kumpulan modal. Oleh karena itu koperasi tidak boleh terlepas dari ukuran efisiensi bagi usahanya, meskipun tujuan utamanya melayani anggota.
•Ukuran kemanfaatan ekonomis adalah adalah manfaat ekonomi dan pengukurannya di hubungkan dengan teori efisiensi, efektivitas serta waktu terjadinya transaksi atau di perolehnya manfaat ekonomi.
•Efesiensi adalah: penghematan input yang di ukur dengan cara membandingkan input anggaran atau seharusnya (Ia) dengan input realisasi.
Efisiensi koperasi diukur berdasarkan tercapainya tujuan dan sistem tujuan dari berbagai pihak yang berkepentingan terhadap koperasi. Dalam manajemen koperasi,konsep efisiensi yang digunakan merupakan konsep yang terintegrasi antara konsep efisiensi operasional, dan efisiensi anggota, kedua konsep efisiensi ini layak diopersioanalkan di koperasi. Implikasi dari wawasan integrasi ini adalah bahwa dalam ukuran efisiensi opersional usaha koperasi perlu dicakup juga aspek efisiensi anggota

Dalam konsep efisiensi usaha koperasi, konsep Sisa hasil Usaha (SHU) sebagai sebuah parameter sudah memadai untuk mengukur efisiensi usaha koperasi yang berwawasan efisiensi anggota, walaupun dari segi terminologi, istilah “sisa” hasil usaha itu sendiri dapat berkonotasi pada makna yang kontra-efisiensi, karena “sisa” itu bermakna bukan achievement melainkan residual dari sebuah aktivitas usaha, oleh karena itu penulis sarankan agar terminologinya diubah dengan terminologi yang lebih universal yaitu “surplus”. Untuk lebih memberikan penilaian yang lebih objektif terhadap efisiensi koperasi secara integratif, maka dalam formulasi efisiensi koperasi, selain mencantumkan nilai SHU, juga perlu disertakan nilai Manfaat Ekonomi Langsung (MEL) yang diberikan oleh koperasi kepada anggota pada saat transaksi, karena tanpa pencantuman nilai Manfaat Ekonomi Langsung ini maka pengukuran efisiensi koperasi menjadi tidak objektif lagi.Konsep RE yang memasukan unsur manfaat ekonomi langsung telah mengakomodasikan pentingnya konsep manfaat ekonomi seperti yang dimaksudkan oleh PSAK No 27 tahun 1999 paragraf 80 bahwa manfaat ekonomi langsung bagi anggota berupa harga, yaitu harga barang dan jasa (dalam pembelian dan penjualan). Dalam pembelian barang oleh anggota,manfaat harga berupa selisih harga antara koperasi dengan harga di luar koperasi.

Penjenisan koperasi apapun namanya haruslah didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya, sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh Pasal 15 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dipertegas lagi dalam penjelasannya yang berbunyi “ Dasar untuk menentukan jenis koperasi adalah kesamaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya” . Tentang hubungan koperasi primer –koperasi sekunder secara konseptual dari pendekatan manajemen koperasi,pembentukan koperasi sekunder adalah untuk untuk memperoleh efisiensi operasional melalui perbesaran skala ekonomi secara bersama-sama. Dalam sebuah koperasi sekunder,koperasi primer terintegrasi secara vertikal dengan koperasi sekunder, namun koperasi primer mempunyai tingkat kebebasan dan kemandirian yang tinggi, artinya karena koperasi sekunder hanya akan menggantikan bagian dari hubungan pasar koperasi primer. Koperasi sekunder bukanlah pengganti pasar seutuhnya. Berdasarkan prinsip ini, maka hubungan primer- sekunder itu sebaiknya tidak perlu dibuat hubungan yang saya sebut saja “hirarkismonopolistik” seperti yang sekarang saat ini berlaku di Indonesia. Contohnya: sekunder bagi KUD adalah Puskud, sekunder bagi koperasi pegawai RI adalah PKPRI, dst. Dengan ikatan seperti ini, maka seakan-akan sekunder KUD adalah Puskud, dan bukan koperasi yang lain. Bahkan wilayah Puskud sudah ditentukan satu propinsi sehingga ada Puskud Jawa Barat, Puskud Sulawesi Utara, dst. Pembentukan koperasi sekunder sebaiknya sama halnya dengan pembentukan koperasi primer yaitu didasarkan atas prinsip-prinsip kesamaan kepentingan dan kelayakan untuk mencapai efisiensi. Ini sesuai dengan penjelasan Pasal 15 diatas, koperasi sekunder dapat didirikan tidak hanya oleh koperasikoperasi yang sejenis saja, melainkan juga oleh koperasi yang berlainan jenis, karena terdapat kepentingan, aktivitas atau kebutuhan yang sama. Dengan kesimpulan ini maka sekunder bagi KUD, misalnya, dapat saja Pusat Koperasi Simpan Pinjam, atau Pusat Koperasi Pemasaran Jagung, dst. Sehingga, sangat mungkin bahwa sebuah koperasimenjadi anggota dari beberapa koperasi sekunder, sesuai dengan kebutuhan usahanya.
Dengan dasar pemikiran ini pula maka berkonsekuensi kepada tidak perlu lagi diberlakukan “pemaksaan” luasan wilayah kerja dari koperasi sekunder, karena dasar pembentukan koperasi sekunder adalah kelayakan.
Kesamaan antara koperasi dan perusahaan bukan koperasi adalah keduanya sebagai kegiatan usaha yang otonom yang harus bertahan secara berhasil dalam persaingan pasar dan dalam usahanya mencapai efisiensi ekonomis dan kemampuan hidup keuangannya.
Sedangkan perbedaan antara koperasi dengan bukan koperasi, selain prinsip identitas ganda pada anggota sebagaimana dibahas di atas, adalah prinsip one man one vote dan patronage refunds. One man one vote diartikan sebagai hak suara yang diberikan tidak memandang besarnya modal yang diinvestasikan pada koperasi, sedangkan patronage refunds diartikan sebagai pembagian sisa hasil usaha didasarkan atas jasa-jasa yang diberikan anggota kepada koperasi Ukuran keberhasilan koperasi tidak semata-mata dengan ukuran efesiensi koperasi sebagai perusahaan, tetapi dengan ukuran efesiensi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota meningkatkan efisiensi pada koperasi akan berbeda dengan perusahaan non-koperasi, walaupun faktor-faktor efisiensi sama, misalnya biaya, harga,output, kekayaan, dan lain-lain.

Dalam Penerapan tujuh prinsip koperasi seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, ada prinisp yang dapat diaplikasikan dilapangan tanpa masalah, ada juga beberapa prinsip yang dapat diaplikasikan dengan penyesuaian. Penyesuaian yang dimaksud misalnya pada penerapan prinsip sukarela dan terbuka mestinya jangan diartikan bahwa anggota secara mutlak bebas masuk dan keluar dari koperasi setiap waktu, menyimpan atau menarik modal di koperasi, karena berdampak kelemahan struktural dalam keuangan koperasi yang disebabkan oleh berfluktuasinya
modal koperasi. Oleh karena itu rekrutasi anggota koperasi harus diatur tersendiri dengan kriteria keanggotaan koperasi yang jelas di koperasi sebagai bagian terintegrasi dalam manajemen keanggotaan di koperasi. Untuk prinsip proporsionalitas pembagian SHU perlu didukung dengan sistem administrasi pencatatan pelayanan ke anggota yang sangat baik. Oleh karena itu, kebanyakan koperasi memberikan SHU kepada anggota dengan jumlah yang sama tanpa mempertimbangkan besarnya jasa usaha masing-masing anggota.
SHU tersebut diberikan saat Rapat Anggota Tahunan sebagai “uang duduk” dan uang transport. Sistem administrasi pencatatan pelayanan ini juga merupakan bagian terintegrasi dengan manajemen keanggotaan. Untuk prinsip balas jasa terbatas atas modal, ,walaupun ada pro dan kontra di kalangan para pakar koperasi, namun dari kajian penulis dampak negatifnya ternyata dapat diminimalkan dengan manajemen koperasi yang menerapkan good corporate governance. Untuk penerapan prinsip pendidikan perkoperasian, ada temuan menarik dari KPSBU Lembang, KSP Trisula, KUD Trisula, dan Koptan Trisula di Majalengka Jawa Barat, bahwa pendidikan anggota yang dijadikan sebagai bagian terintegrasi dari manajemen keanggotaan (pendidikan anggota sebagai persyaratan yang harus diikuti dalam merekrut angota baru) berdampak positif terhadap keajegan keangotaan koperasi. Sedangkan untuk prinsip demokrasi (one man one vote)adalah prinsip universal koperasi yang tidak bisa ditawar lagi, namun dalam implementasinya khususnya dalam Rapat Anggota dapat dilakukan dengan dua alternatif pilihan yaitu penyampaian hak suara secara langsung dan secara perwakilan. Pelaksanaan rapat anggota pada koperasi yang relatif kecil jumlah anggotanya dapat dilakukan secara langsung, namun pada koperasi yang telah tumbuh menjadi besar, rapat anggota sebaiknya dilakukan melalui perwakilan anggota. Hal ini didasari oleh pertimbangan-pertimbangan rasional yaitu: pertama adalah untuk efisiensi biaya, kedua adalah efisiensi proses pengambilan keputusan, karena dengan jumlah peserta rapat yang begitu banyak proses pengambilan keputusan akan sangat alot, dan ketiga adalah alasan kemudahan teknis yang menyangkut tempat, karena dengan jumlah peserta rapat yang mencapai ribuan akan sulit melakukan rapat dalam satu waktu dan satu tempat.

Keanggotaan dalam koperasi merupakan salah satu aspek penting, karena maju mundurnya sebuah koperasi antara lain dipengaruhi oleh tingkat partisipasi anggota koperasi, oleh karena itu keanggotaan koperasi perlu dilakukan dengan manajemen tersendiri yang kemudian disebut manajemen keanggotaan. Manajemen keanggotaan mencakup kepada aktivitas rekrutasi anggota, pengembangan anggota, pemberian manfaat, pemeliharaan anggota, dan pemutusan hubungan keanggotaan. Dalam manajemen keanggotaan terkandung makna pemikiran efisiensi dan efektivitas, karena terkait dengan
skala ekonomis dari usaha koperasi. Oleh karena itu, manajemen keanggotaan harus dijadikan bagian teintegrasi dari penyusunan rencana pengembangan usaha koperasi. Jika manajemen keanggotaan berjalan secara efektif dan efesien maka partisipasi insentif akan meningkat. Selanjutnya, jika partisipasi insentif meningkat maka volume transaksi dalam perusahaan koperasi pun meningkat. Akibat lebih lanjut, bila volume transaksi dalam perusahaan koperasi meningkat maka akan terjadi penurunan biaya operasional melalui efesiensi biaya transaksi, biaya organisasi, dan biaya informasi. Dari hasil kajian dilapangan, pada umumnya koperasi masih lemah terutama pada aspek pengembangan
anggota karena program pendidikan anggota belum terprogram, dan pada aspek
pemeliharaan anggota.


Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pada pasal 21menyebutkan bahwa perangkat organisasi koperasi terdiri dari:
a) Rapat Anggota,
b)Pengurus,
c) Pengawas.
Artinya, Undang-undang tidak memberikan batasan berapa jumlah pengurus dan bagaimana organisasi pada kepengurusan koperasi, dengan kata lain Undang undang memberikan keleluasaan kepada pihak koperasi untuk menyusun dan mengatur organisasinya sesuai dengan kebutuhannya. Dalam implementasinya di lapangan, ada keragaman pada aspek kelembagaan/organisasi koperasi terutama dari aspek: jumlah pengurus, struktur organisasi kepengurusan/manajemen koperasi, dan keberadaan manajer.
Jadi secara kelembagaan pasal 21 di atas tidak dipandang ada masalah dalam implementasi di lapangan. Namun, permasalahan yang timbul adalah pada banyak kasus ditemukan jumlah pengurus yang melebihi kebutuhan organisasi, keberadaan manajer yang belum perlu, dan rentang struktur organisasi yang terlalu panjang dibuat oleh pihak koperasi.Fenomena ini terjadi terutama disebabkan pertimbangan “kekeluargaan”, yaitu ingin memberikan posisi kepada pihak-pihak yang dianggap berjasa kepada koperasi.
Gagasan untuk menghilangkan pengurus dalam struktur organisasi koperasi karena alasan agencyproblem dan menggantinya dengan manajemen yang merupakan tenaga profesional pengelola koperasi yang diangkat oleh Rapat Anggota, menurut penulis dipandang gagasan yang tidak tepat, dengan dua alasan:
(1) karena koperasi memiliki karakteristik
khas yaitu equalitas keanggotaan yang ditandai dengan one man one vote. Dengan karakteristik ini maka, koperasi sangat rentan terhadap konflik di antara anggota, ,
(2)hubungan antara anggota dengan koperasi berbeda dengan hubungan antara konsumen dengan perusahaan,
karena antara anggota dengan koperasi terdapat hubungan ikatan organisasional.
Dengan dua kondisi ini maka dalam koperasi diperlukan adanya pemimpin yang berfungsi mengarahkan, mengendalikan, dan mengembangkan keanggotaan. Selain itu, dalam koperasi tugas pengurus, bukan saja mengembangkan usaha koperasi, tetapi juga mengembangkan kelembagaan/organisasi koperasi secara keseluruhan. Pihak yang dapat melakukan fungsi-fungsi ini adalah pengurus.
Pengendalian internal dalam koperasi merupakan hal yang penting. Perangkataturan tentang pengendalian internal di koperasi sudah memadai. Namun pengendalian internal di koperasi sering tidak efektif karena adanya ketidakseimbangan pemahaman tentang manajemen koperasi secara keseluruhan ataupun manajemen keuangan koperasi secara khusus pada sebagian dari unsur koperasi khususnya para anggota koperasi.
Ketidakseimbangan pemahaman ini cenderung menimbulkan miskomunikasi di antara pengurus dengan anggota dan menimbulkan tindakan-tindakan manipulatif dari pihak pengelola koperasi. Oleh karena itu, efektivitas pengendalian internal di koperasi berkaitan erat dengan tingkat pemahaman anggota terhadap manajemen koperasi, dan dengan sendirinya berkaitan erat dengan efektivitas program pendidikan anggota. Dari hasil kajian di lapangan, ditemukan bahwa semakin baik program pendidikan anggota, maka pelaksanaan good corporate governance di koperasi semakin baik, dan pengendalian internal juga semakin baik. Selain itu, pada koperasi-koperasi maju, pelaksanaan pengendalian intern selain telah dilakukan secara melembaga oleh perangkat koperasi sendiri, juga telah mampu memanfaatkan pihak auditor dari eksternal.
Berdasarkan kesimpulan kelompok jawaban pertama, maka dapat diberikan kesimpulan sebagai kelompok jawaban kedua sesuai dengan pertanyaan penelitian yang diajukan sebagai berikut:
(1) Dari aspek manajemen, koperasi masih relevan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang mengalami perubahan. Dari kajian terhadap koperasi-koperasi di lapangan, mereka dapat beroperasi dan berkembang atas dasar pola dasar manajemen koperasi di Indonesia. Artinya, berkoperasi bisa merupakan salah satu pilihan untuk mensejahterakan masyarakat, asalkan koperasi dapat memberikan manfaat ekonomi bagi para anggota.
(2) Pengembangan ekonomi rakyat melalui pendekatan koperasi masih kondusif, namun harus dilakukan peningkatan kompetensi semua pihak dalam koperasi agar meningkat profesionalisme dan kompetensinya, serta tercipta keseimbangan pemahaman antara pengelola koperasi dan anggota. Selain itu secara sistem manajemen, ada beberapa hal yang perlu disesuaikan lagi dalam koperasi terutama dari aspek penataan permodalan dan laporan keuangan, serta aspek manajemen keanggotaan koperasi. Kedua aspek tersebut selayaknya ditata lagi dan disesuaikan dengan tujuan, nilai dan prinsip koperasi.
Berdasarkan hasil kajian dan kesimpulan di atas, maka dapat disampaikan rekomendasi tentang pendekatan pemberdayaan koperasi dalam lingkungan yang berubah dari aspek manajemen koperasi sebagai berikut :
(1) Untuk pengembangan koperasi ke depan, mengingat sifat dual identity anggota yang menjadi identitas koperasi, maka manajemen keanggotaan di koperasi selayaknya menjadi salah satu fokus perhatian untuk dikembangkan.
Manajemen keanggotaan mencakup:
pengadaan anggota, pengembangan anggota, pemberian manfaat kepada anggota,pemeliharaan anggota, dan pemutusan hubungan dengan anggota. Mengingat bahwa kemampuan koperasi untuk melakukan fungsi pengembangan anggota melalui kegiatan pendidikan perkoperasian masih sangat terbatas, baik dari aspek finansial maupun diarti aspek kompetensinya, maka bantuan Pemerintah dalam aspek ini sangat diperlukan.
(2) Perlu dilakukan penataan kembali dari aspek permodalan dan laporan keuangan koperasi disesuaikan dengan tujuan, nilai dan prinsip koperasi. Penyesuaian-penyesuain tersebut sesungguhnya telah diakomodasikan dalam PSAK No 27 Tahun 2004. Memang penerapan PSAK No 27 akan memberikan beban tambahn bagi koperasi, namun dalam jangka panjang dampaknya akan sangat baik terhadap upaya menciptakan koperasi yang sehat. Penerapan dari prinsip ini sebaiknya dari sekarang sudah mulai dirintis secara bertahap.
(3) Mengingat bahwa koperasi pada umumnya merupakan kumpulan orang-orang yang lemah secara ekonomi, sehingga koperasi tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan pemupukan modal yang diperlukan untuk membiayai usahanya, maka dukungan Pemerintah untuk memberikan fasilitas bantuan permodalan koperasi masih diperlukan. Namun, agar pemberian fasilitas bantuan Pemerintah ini efektif, maka ke depan diperlukan revitalisai pembinaan dari Pemerintah, dengan penciptaan koordinasi yang semakin baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.



Sumber:www.smecda.com/.../KAJIAN%20PROSPEK%20KOPERASI%20DARI%20PERSPEKTIF... - Mirip

Senin, 20 Desember 2010

kajian model pengembangan usaha di kalangan pemulung daerah Kabupaten Bogor

Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung Daerah
Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor



Profil

TPST Bojong
TPST Bojong terletak di Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor pada lahan seluas 35 hektar. PT Wira Guna Sejahtera adalah sebuah perusahaan swasta yang bekerja sama dengan Pemkot Jakarta untuk membangun TPST Bojong. Dana yang digunakan bukan dari APBD, tetapi dari investasi pihak asing (Swedia) sebagai penyedia mesin pengolahan sampah.

Teknologi yang digunakan
Teknologi utama pengelolaan sampah yang digunakan oleh TPST Bojong berasal dari Swedia yang dikenal dengan nama Teknologi Ballapress. BALA adalah nama perusahaan Swedia, yang pabriknya berlokasi di Nossebro, dekat Gothenburg. Perusahaan tersebut berpengalaman 15 tahun dalam merancang dan membuat system untuk menangani, menyimpan, dan membuang sampah padat.
Teknologi pengolahan pada dasarnya dibagi atas empat unit pengolahan antara lain:

1. Unit Pemilahan
Pemilahan sampah dilakukan di atas delapan unit ban berjalan (conveyor belt) yang masing-masing panjangnya 33 meter. Para ‘pemulung’ (sekitar 1000 orang) berada di sisi kiri dan kanan masing-masing ban berjalan tersebut, bertugas memilah sampah yang masih punya nilai ekonomis (untuk didaur ulang) seperti plastic, logam, gelas, kaleng, dan kertas untuk diangkut keluar mesin; dan benda yang masuk mesin umumnya sampah organic dan yang tidak punya unsur ekonomis lagi dan bebas dari material berat seperti balok kayu, batu, kerikil dan lain-lain.
Kelemahan dari metode ini adalah lebar ban yang kurang dan tidak mampu menampung volume sampah dan pemilahan yang masih menyisakan material berat masuk ke mesin.

2. Unit Pemadatan
Tiga jenis sampah akan masuk ke dalam mesin, yaitu sampah organic, sampah yang akan di daur ulang, dan sampah yang tidak memiliki nilai ekonomis lagi. Pemadatan dilakukan dari volume sampah normal menjadi ukuran 20 – 25% dari ukuran awal. Pemadatan menjadi bentuk kubus 1 -1,7 m3. Pemadatan sampah organic dimaksudkan untuk memperkecil volume, mengeringkan, dan mengekstrak air lindi dari sampah tersebut. Pemadatan sampah daur ulang dan tanpa nilai ekonomis untuk memperkecil volume sampah. Pemadatan sampah ini juga dimaksudkan agar proses insenerasi bisa lebih mudah.

3. Unit Insenerasi
Unit ini bertugas ‘memanggang’ kubus-kubus sampah organic dan tanpa nilai ekonomis lagi. Sampah yang akan didaur ulang akan didistribusikan ke unit-unit daur ulang di dalam dan luar TPST. Volume sampah yang masuk unit insenerasi akan direduksi hingga 60-80%, dan 20-40% dari volume sampah akan menjadi abu yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan batu bata dan batako. Hasil insenerasi sampah organic dan sampah tanpa nilai ekonomis akan dibungkus dan ditimbun di lahan yang telah digali, dan kemudian akan dijadikan wilayah penanaman pohon.
Kelemahan unit ini adalah gas buang hasil proses pembakaran. Gas buang hasil pembakaran seperti partikulat, nitrogen monoksida, sulfur oksida, karbon dioksida, dan furan, tergolong dapat menjadi polutan yang berbahaya yang bersifat karsinogenik (memicu kanker).

4. Unit Pengolahan Air Lindi
Air hasil penyaringan dari proses pemadatan dikenal dengan nama air lindi (leachate) yang kaya dengan senyawa organik dan dinyatakan dalam Chemical Oxygen Demand (COD). Air lindi diproses melalui proses anaerobic atau tanpa oksigen dalam prosesnya. Air lindi akan dijadikan senyawa untuk campuran kompos dan gas hasil proses berupa metana (CH4) akan dijadikan sumber energi bagi TPST sendiri.

Pro Kontra TPST Bojong

Henky Susanto, seorang ahli dari BPPT mengatakan TPST adalah sebuah kesia-siaan. Pemusnahan lewat insenerator sangat berbahaya dan harga insenerator sangat mahal. Terdapat zat seperti CDD (chlorinated dibenzo-p-dioxin), CDF (chlorinated dibenzo furan), dan PCB (poly chlorinated biphenyl) yang dihasilkan pembakaran di incinerator yang dapat mengakibatkan kanker. Dia lebih menyarankan pemanfaatan TPA Bantar Gebang untuk diubah dari sanitary landfill menjadi reusable sanitary landfill.
Joko Heru Mantono, seorang ahli BPPT lainnya mengatakan bahwa konsep TPST Bojong ini cukup bagus namun aspek kelayakan dengan berbagai syaratnya diabaikan. Keamanan dan pengendalian lingkungannya masih dipertanyakan pula. Seharusnya TPST Bojong direlokasi, tetapi masalah yang sama yaitu penolakan dari warga sekitar juga akan mengiringi proses relokasi tersebut.

Warga Menolak
Dasar penolakan Warga Bojong atas keberadaan TPST di wilayah mereka adalah lokasi tersebut akan bernasib sama dengan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Padahal TPST dan TPA adalah dua konsep pengolahan sampah yang sangat berbeda. TPA Bantar Gebang merupakan sanitary landfill (pe-nimbunan sampah dengan lapisan tanah), yang menyebabkan pencemaran air tanah akibat tanah tidak dilapisi lapisan kedap air, dan pencemaran udara (bau) akibat pembusukan sampah. Walaupun direktur PT Wira Guna Sejahtera telah menjamin bahwa pencemaran yang terjadi di Bantar Gebang tidak akan dialami oleh TPST Bojong, namun warga telah dirasuki rasa ketakutan dan akhirnya menjadi paranoid akan TPST Bojong. TPST Bojong pun akhirnya berhenti beroperasi.

Kondisi Terakhir
Lahan milik PT Wira Guna Usaha yang luasnya 35 hektar bekas berdirinya TPST Bojong, terlantar. Banyak warga memanfaatkan lahan tersebut untuk menggembalakan hewan ternak mereka. Sejak tahun 2007, TPST resmi menghentikan usahanya, pihak perusahaan membiarkan lahan luas itu begitu saja. Warga sekitar mengatakan bahwa warga setuju saja bila PT Wira Guna Usaha mengadakan aktifitas di wilayah mereka asalkan bukan pengolahan sampah. Mereka juga mengatakan bahwa sebaiknya lahan tersebut digunakan untuk pertanian daripada untuk industri. Lahan tersebut sekarang ditumbuhi rumput liar. Bangunan bekas tempat mesin pengolahan sampah hanya tersisa puing-puing dan pondasinya saja. Yang tersisa hanya pos penjagaan yang juga tidak terawatt. Danau seluas satu hektar di sisi kiri lahan TPST jadi objek menarik untuk wisata warga dan sarana pemancingan.

Penyelesaian yang Tepat Saat Ini
TPST Bojong dirancang untuk mengolah 2.000 ton sampah per hari, sedangkan sampah warga Jakarta setiap harinya mencapai angka 6.000 ton. Sampah warga Jakarta dalam seminggu mampu memenuhi Stadion Gelora Bung Karno. Itu artinya hanya 33% dari total sampah warga Jakarta yang dapat diolah di TPST Bojong. 67% sisanya akan dilempar ke TPA Bantar Gebang, yang kondisinya sudah diketahui bersama tidak layak untuk pengelolaan sampah. Sampah walau terkadang disepelekan memiliki efek yang membahayakan, dan menjadi penyumbang gas rumah kaca berupa metana dan karon dioksida. Alternatif lain diperlukan untuk pengelolaan sampah dari warga masyarakat umumnya, warga Jakarta pada umumnya.
Alternatif terbaik adalah mengolah sampah sebelum sampah itu naik ke truk-truk pengangkut sampah dan mencapai TPST Bojong ataupun TPA Bantar Gebang. Pengelolaan sampah mulai dari rumah tangga itu sendiri. Sampah dari rumah harus dipilah-pilah menjadi tiga kelompok. Sampak organic atau sampah basah, sampah anorganik atau sampah kering, dan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Sampah basah atau organic umumnya berasal dari makhluk hidup seperti daun-daunan, sayuran, buah, serta sisa makanan. Sampah organic dapat diurai oleh mikroorganisme, namun proses penguraiannya menimbulkan bau busuk dan gas rumah kaca. Sampah kering atau anorganik seperti plastic, kertas, gelas, karet, dan berbagai sampah anorganik lain yang masih memiliki nilai jual seperti botol, kertas, besi bekas, dan kaleng. Limbah B3 berbahaya bagi manusia dan lingkungan seperti botol obat nyamuk, sisa bahan kimia, tinta, parfum, dan oli. Tanpa system pembuangan yang benar, limbah B3 dapat mencemari lingkungan, air, tanah, dan tanaman.
Tiap rumah tangga dapat memulainya dengan menyediakan wadah untuk tiga jenis sampah di atas, atau membagi kantung sampahnya menjadi tiga bagian. Sampah limbah B3 dapat dikumpulkan dan diurus secara swadaya dalam kumpulan masyarakat seperti tingkat RT, dengan membuat system sederhana pengelolaan yang aman. Sampah anorganik dapat dijual ke pengumpul barang bekas seperti kertas, botol, besi, kaleng, dan plastic, atau dikreasikan menjadi barang dengan sedikit kreatifitas. Sampah organic dapat diolah menjadi kompos yang dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman. Kompos dapat dibuat dengan menggunakan tong atau membuat lubang biopori. Kompos menggunakan tong memerlukan campuran bahan kimia atau menggunakan bakteri pengurai, sedangkan pengomposan biopori membuat lubang di tanah sedalam 80 – 100 meter yang lalu diisi dengan sampah organic. Pengolahan sampah organic menjadi sangat krusial karena sampah organic memiliki porsi lebih 60% dari total sampah dari warga masyarakat.

PENUTUP
TPST Bojong, adalah sebuah konsep pengelolaan sampah yang baik dan terencana. Terlepas dari segala kekurangan yang saat ini masih menyelimutinya. Penghentian tempat pengelolaan sampah tersebut sebetulnya sangat disayangkan. Oleh karena itu, mulai saat itu kita harus lebih bijak dalam mengelola sampah. Persoalan sampah adalah persoalan yang pelik saat ini. Pengolahan sampah adalah tanggung jawab kita bersama, dan harus dimulai saat ini juga untuk mengolah sampah mulai dari rumah tangga. Konsep reduce, reuse, dan recycle dalam pengelolaan sampah juga harus selalu diterapkan.
Sampah jangan sampai dibuang begitu saja, karena sampah tidak akan ‘hilang’ atau terurai dengan mudah atau otomatis terdegradasi.

• Analisis SWOT

Analisis SWOT merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah, proyek atau konsep bisnis yang berdasarkan faktor internal (dalam) dan faktor eksternal (luar) yaitu Strengths, Weakness, Opportunities dan Threats. Metode ini paling sering digunakan dalam metode evaluasi bisnis untuk mencari strategi yang akan dilakukan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang terjadi bukan sebagai pemecah masalah.
Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:

• Strengths (kekuatan)
Merupakan semua konsep pengelolaan sampah yang baik dan terencana.
• Weakness (kelemahan)
Aspek kelemahan dan berbagai syaratnya di abaikan
• Opportunities (peluang)
Menjadikan peluang yang baik dalam hal menyimpan dan mengelolanya.
• Threats (ancaman)
Penghentian tempat pengelolaan sampah.

Setelah itu dibuat pemetaan Analisis SWOT maka dibuatlah tabel matriks dan ditentukan sebagai tabel informasi SWOT. Kemudian dilakukan pembandingan antara faktor internal yang meliputi Strength dan Weakness dengan faktor luar Opportunity dan threat. Setelah itu kita bisa melakukan strategi alternatif untuk dilaksanakan. Strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling menguntungkan dengan resiko dan ancaman yang paling kecil.
Selain pemilihan alternatif Analisis swot juga bisa digunakan untuk melakukan perbaikan dan improvisasi. dengan mengetahui kelebihan (Strength dan opportunity) dan kelemahan kita (weakness dan threat), maka kita melakukan strategi untuk melakukan perbaikan diri. Mungkin salah satu strateginya dengan meningkatkan Strength dan opportunity atau melakukan strategi yang lain yaitu mengurangi weakness dan threat.


DAFTAR PUSTAKA
Arif, Ahmad; Indira Permanasari; dan Rudy Badil.2009.Hidup Hirau Hijau.Jakarta:KPG
Ginting, Periksa.2009.Lahan TPST Bojong terlantar.Dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/0904/25/ jab05.html
Oktarini, Fitri.2004.Kesia-siaan TPST Bojong.Dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/11 /25/nrs,20041125-03,id.html
Yuliastuti, Dian.2005.Ahli BPPT : TPST Bojong Sebaiknya Direlokasi.Dalam http://www.tempointeracti-ve.com/hg/.../03/.../brk,20050324,id.html
http://digilib-ampl.net/detai/detail.php?row=6&tp=artikel&ktg=sampahdalam&kd_link=&kode=202.2004. Teknologi di TPST Bojong
http://www.forplid.net/index.php?option=com_content&task=view&id=80&Itemid=101.2007.TPST Bojong Perlu Disempurnakan
http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/11/25/nrs,20041125-02,id.html.2004.Mengenal Teknologi Ballapress di TPST Bojong